Sebuah Filosofi Cilok Untuk Membangun Jakarta

Sebagai anak bangsa yang berbudi luhur dan seorang Pancasilais yang istiqomah, kok rasanya amat sayang jika cita-cita penulis yang pernah terniatkan DISINI akibat terlalu lama meratapi kondisi negeri yang embuhlah seperti sekarang, tidak terealisasi menjadi suatu filosofi kebangsaan.

Tentu konsep ini jauh dari propaganda adinda yang menyerang KPK tempo hari, karena konsep ini tidak perlu jargon intelektual untuk sekedar corat coret seperti lulusan TK nol kecil, atau jargon profesor yang hobi kluyuruan mencari panggung dangdut, pun juga seperti nyonya aktivis kemanusiaan yang nyatanya hanya nongol jika berkaitan dengan musuhnya. Bahkan, filosofi ini terlalu suci untuk dibandingkan dengan fenomena kebangkitan komunis yang serba sangat tidak penting dibanding segenggam nasi putih.

Inilah filosofi yang akan penulis usung sebagai bagian dari niat pencalonan, niat untuk membangun negeri, bukan sekedar cari panggung tanpa konsep. Tidak! Semboyan kami, Majulah dengan Akal Budi, sebuah konsep kebanggsaan, inilah filofosi cilok.

Siapa yang suka cilok? Penulis hakul yakin pastilah sangat banyak. Cilok adalah makan populer di Jawa barat, khususnya Bandung, berbentuk bulat kecil-kecil dan terbuat dari tepung tapioka sehingga teksturnya kenyal-kenyal menggemaskan.

Cilok adalah makanan yang amat sederhana, tidak perlu gelar seorang chef bintang lima untuk sekedar membuat cilok, asalkan telaten dan komposisinya pas maka cilok pasti disukai dari anak-anak hingga manula. Inilah mengapa cilok layak di angkat derajatnya, mari kita simak beberapa menakjubkan filosofinya.

1. Kebersamaan dan Persatuan

Cilok identik dengan persatuan. Jika kita membeli cilok, pastilah dalam satu plastik terdapat 10-20 biji cilok kecil-kecil, saling menempel dengan damai di dalam plastik tanpa pernah protes atau saling emosi, semua aman dan kondusif. Inilah filosofi yang akan penulis pakai, kebersamaan dan persatuan masyarakat Jakarta, dari kelas Pondok Indah hingga kelas Luar Batang.

Jika ada ormas yang kian meresahkan seperti ini, wajib hukumnya di bubarkan.

2. Kesederhanaan

Cilok hadir dalam tampilan putih dan polos, ini menunjukkan masyarakat Jakarta dan juga Indonesia sebetulnya. Masyarakat tidak perlu orang yang berbicara neko-neko dengan konsep atas langit, tidak! Masyarakat butuh konsep sederhana dengan pemikiran yang sehat.

Jika kampung di pinggir kali itu menimbulkan dampak bencana banjir yang parah, ya harus di relokasi. Jika sulit mengurangi kendaraan di Jakarta ya artinya harus membangun jalan baru, infrastruktur harus berjalan, itu wajib, tidak perlu cari panggung. Simple dan sederhana. Sesederhana cilok.

3. Pemerataan

Cilok disajikan dengan sambal kacang, sambal kacang melumuri setiap jengkal cilok di dalam plastik, tak peduli ukuran ataupun jenis ciloknya. Inilah konsep pemerataan kesejahteraan yang harus diutamakan. Utamanya dalam jangka panjang. Jika daya beli masyarakat kurang, bukan hanya gaji yang dinaikkan, tapi bagaimana mengendalikan harga dan inflasi tetap rendah, itu yang lebih penting, dan DKI adalah barometer.

Caranya: Pertama, pemotongan jalur distribusi bahan pokok, inilah tugas seorang Gubernur DKI Jakarta dengan dana trilyunan rupiah, beliau bisa sidak langsung ke peternak / petani ataupun Bulog untuk beli secara langsung. Karena jalur distribusi itulah biang masalah harga tidak stabil, naik tidak terkendali.

Kedua, ya infrastruktur, jika jalur pengiriman lancar, biaya murah, stok di gudang selalu tersedia, tentunya harga bisa di kendalikan. Inilah konsep Just In Time Toyota yang sukses berpuluh-puluh tahun. Ada yang nakal? Sikat!. Apa enggak keren?

4. Kecil dulu – gede belakangan

Ini konsep alami khas cilok, jika kita makan cilok, yang biasanya dimakan adalah pentol yang kecil dulu, baru yang gede nanti-nanti. Sama dengan rakyat, ukuran rakyat kecil dulu yang diutamakan, bukan yang gede dulu.

Bukan orang “gede” dulu yang dibuatkan apartemen, salah kaprah. Tapi orang “kecil” dulu yang dibuatkan rusunawa. Di pindah orang “kecil” dari daerah yang tidak sehat ke daerah sehat, dari daerah kumuh ke daerah tertib. Inilah konsep orang kecil sejati. Jika ada orang “kecil” tadi menolak? Bicarakan sambil makan cilok, pasti luluh!

Jangan salah kaprah, orang “gede” selalu kita dahulukan di pemukiman elit nan sehat, sedangkan orang “kecil” selalu di daerah kumuh, salah!. Sudah saatnya orang kecil mendapatkan sandang pangan papan yang layak.

5. Sederhana dan mudah di dapatkan

Ini filosofi sederhana, yang dibutuhkan Jakarta adalah konsep yang sederhana dan mudah untuk dilaksanakan. Bukan konsep neko-neko. Konsep sederhana seperti penertiban kawasan kumuh di DKI untuk mengurai banjir, adanya pelaksanaan konsep “seminggu sikat sampah” dari Pemrov DKI, dimana selama seminggu Pemrov dan jajarannya menurunkan alat berat ke semua Kali, sodetan dan gorong-gorong untuk membersihkan sampah, di dukung juga dengan kinerja tanggul-tanggul yang di kontrol ketat.

Mengurai kemacetan, jangan berpikir seperti Ustad yang ini, bukan anak sekolah yang salah. Anak sekolah memang datangnya pagi, bebarengan dengan orang kantoran, toh meskipun jam masuk sekolah sudah dimajukan namun belum ada dampak yang signifikan.

Ya karena bukan di anak sekolah penyebabnya, meskipun di majukan jam 7 pagi, tetap saja pengantarnya si bapak & ibu berangkat di waktu yang sama. Jangan juga dipisahkan antara orangtua dan anak, karena orang tua mutlak wajib mendidik anak.

Jadi apa dong? Lagi-lagi peningkatan infrastruktur. Pertama, pengadaan bus sekolah untuk membatasi orangtua yang membawa kendaraan pribadi ke sekolah. Kedua, volume kendaraan dengan ruas jalan di Jakarta sudah tidak berimbang. Mungkin sudah 10:1 saat ini. Pembangungan fly over atau underpass sudah sangat kritis dibutuhkan.

Ketiga, penambahan armada busway / transjakarta. Ini mutlak, tambahan 10x bus amatlah tidak mengapa dibanding ada ibu-ibu yang melahirkan di halte busway karena saking lamanya nunggu.

Memang butuh usaha lebih dari sisi biaya, tapi lha wong sekarang saja Ahok dituduh tidak bisa menghabiskan anggaraan, masih sisa banyak untuk makan nasi bungkus. Apa ya enggak sebaiknya di gelontorkan untuk infrastruktur?

Begitulah filosofi cilok yang akan penulis bawa, konsep sederhana, sangat sederhana, tanpa menyerang pihak sana sini, tetap fokus tujuan, fokus pada filosofi cilok, dan untuk itu, penulis akan mengangkat Rangga sebagai penasehat per-cilokan.

 

About

Tukang Ngopi. “Kemampuan membaca itu sebuah rahmat. Kegemaran membaca; sebuah kebahagiaan.” ― Goenawan Mohamad Sila baca blog saya yang lain di http://srimayainvestment.blogspot.com

Posted in Ekonomi, Politik
10 comments on “Sebuah Filosofi Cilok Untuk Membangun Jakarta
  1. Ryan Goose says:

    Hihi daripada ada yg sibuk cari panggung terus gak dapet2..hidup cilokkkk

    Like

  2. Saya dukung klo sampeyan mau nyalon, nyalon di mangga besar kyknya sip tuh hahaha

    Like

  3. Hontario says:

    Saya setuju klo FPI di bubarkan, masuk angin mmg mreka

    Like

  4. Sri yani says:

    Ya saya sekeluarga suka cilok, kreatif juga pemikirannya, suka blognya bagus mas, salam

    Liked by 1 person

  5. […] Sebuah Filosofi Cilok Untuk Membangun Jakarta, dan ini […]

    Like

  6. ABDUL WAHID says:

    krennn pilosofinya mas
    cilok memang andalan
    pedagangcilok itu kayak air tenang menghanyutkan
    haha
    hidup cilokkkk

    Like

  7. Mochamad Khoirur Rohmat says:

    Mntap ijin copas gan kata2 nya

    Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Follow laptop paijo on WordPress.com

Jangan lupa masukkan email anda disini ya

Arsip Tulisan
The Second Avenue

Indonesia Street Photography

Shoot New York City Blog

Photo Tours & Street Photography Workshops

John Wreford Photographer

Words and Pictures from the Middle East

Cerita Motivasi - Kumpulan Kisah Inspirasi Terbaik

Kumpulan cerita motivasi, kisah inspiratif, cerita bijak, kisah teladan. Bisa dijadikan renungan agar kehidupan menjadi lebih baik.

Ruang Baca

saya tak memiliki apapun, tak juga surga, tak juga neraka

khsblog :-D

Tulis, Telas dan Tulus...

Daun Woka

menulis sebelum ditulis oleh sejarah

GAYOTAKENGON

Budaya kopi...Kopi budaya... heal and real..

Lazione Budy

'Saoirse' is not a word, it's angel

Gorboman Running

Mengulas hobi secara jujur dari sudut pandang orang awam.

George Lakoff

George Lakoff has retired as Distinguished Professor of Cognitive Science and Linguistics at the University of California at Berkeley. He is now Director of the Center for the Neural Mind & Society (cnms.berkeley.edu).

Emanuel Setio Dewo

Mari berkarya

Omnduut

Melangkahkan kaki ke mana angin mengarahkan

ngalor ngidul ketemu kiblat

Catatan Setengah Matang dari Orang yang Sedang Belajar Menulis

leniaini blog

here's more to remember